Ulama Dompu Yang Dimakamkan di Ma’la Makkah


Ulama Dompu yang dimakamkan

Kambali Dompu Mantoi – Wafatnya Hadratusy Syaikh KH. Maimoen Zubair membawa duka bagi semua insan yg lurus imannya. Ulama kharismatik asal Indonesia ini telah meninggalkan kita untuk selamanya. Tinggallah ilmu dan nasihat petuah beliau yg akan selalu diikuti oleh orang-orang yang mencintai ilmu dan ulama’. Beliau wafat pada tanggal 7 Agustus 2019 bertepatan dengan tanggal 6 Dzulhijjah 1440 H. Beliau dimakamkan pada hari yang sama di Ma’la. Yakni kompleks pemakaman para sahabat Rasulullah dan para ulama besar.
.
Ketika membaca berita bahwa Mbah Moen akan dimakamkan di Ma’la. Ingatan penulis langsung menerawang menuju masa lalu. Ya di sana, di Ma’la terbaring pula jasad seorang ulama besar yang pernah berperan besar dalam percaturan dakwah di Makkah, Selangor, Lombok, Bima, dan Dompu. Beliaulah Syaikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail bin Abdul Karim. Karena dahulu orang menggunakan nama Bima untuk menyebut Bima dan Dompu, maka orang Arab memberinya nama laqab Al-Bimawi. Karena dahulu orang menggunakan nama Jawa untuk menyebut Nusantara (Indonesia, Malaysia, Filipina), maka orang Arab memberinya laqab Al-Jawi. Syaikh Abdul Ghani Al-Bimawi Al-Jawi, begitulah orang Arab menggelari beliau.
.
Berbicara tentang Syaikh Abdul Ghani bin Subuh Al-Bimawi Al-Jawi, memang tidak akan ada habisnya. Ulama ini adalah salah satu wali Allah yang luas ilmunya dan dihormati seluruh ulama’ di zamannya. Terlepas genealogis beliau yg merupakan keturunan Arab, namun penulis pribadi lebih memilih menyematkan julukan “Dou Dompu” untuk beliau. Di sinilah nenek buyutnya berasal, di sini pula anak cucu serta cicitnya tinggal hingga kini. Artikel ini adalah hasil copas dari tulisan Faisal Mawa’ataho aka Uma Seo di blog-nya kambalidompumantoi. wordpress. com.
.
Menurut Tajib (1995), kakek buyut Syaikh Abdul Ghani adalah seorang muballigh kelana bernama Abdul karim dari Makkah keturunan Baghdad. Abdul Karim sampai ke Indonesia pertama kali menuju Kesultanan Banten, untuk mencari saudaranya yang bernama sama dengan dirinya. Di Banten, Abdul Karim mendengar berita bahwa saudaranya tersebut berada di Sumbawa. Ia pun menyusul ke Sumbawa. Namun setibanya di Sumbawa, ia mendapatkan berita bahwa saudaranya itu telah meninggal. Iapun melanjutkan kelananya dan sampai di Kesultanan Dompu.
.
Di Kesultanan Dompu, Abdul Karim berdakwah dengan berdagang tembakau. Ia tidak menjual tembakau untuk ditukar dengan uang atau barang lain. Namun, setiap orang yang menginginkan tembakaunya harus membelinya dengan dua kalimat syahadat dan berguru kepadanya. Abdul Karim melaksanakan shalat berjamaah dan menggelar pengajian bersama para pengikutnya yang semakin lama makin bertambah. Dakwahnya pun menarik perhatian salah seorang penguasa di Kesultanan Dompu. Iapun diundang ke istana. Ia juga menikah dengan seorang gadis kalangan istana (Tajib, 1995: 407). Menurut Israil M. Saleh, penguasa di Dompu yang dimaksud adalah Ncuhi Nowa, penguasa wilayah Ke-Ncuhi-an yg terletak di bagian barat Kesultanan Dompu. Artikel ini adalah hasil copas dari tulisan Faisal Mawa’ataho aka Uma Seo di blog-nya kambalidompumantoi. wordpress. com.
.
Ayah dari Syaikh Abdul Ghani, yakni Syaikh Subuh bin Ismail sejak muda sudah hafal Al-Qur’an dan ditempa dengan berbagai ilmu keislaman di Dompu. Setelah ilmunya dirasa cukup, beliau mengarahkan aktivitas dakwahnya ke arah wilayah Kesultanan Bima di sebelah barat teluk di mana masih banyak masyarakat yang belum memeluk Islam. Sebagai strategi agar dakwahnya diterima, Syaikh Subuh menikahi wanita setempat yakni dari Suku Donggo di Kampung Sarita. Dari pernikahan itu maka lahirlah Abdul Ghani kecil.
.
Keberhasilan Syaikh Subuh mendakwahi Suku Donggo pesisir ini lantas didengarlah oleh Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-1743) yang menjadi penguasa Kesultanan Bima saat itu. Sultan mengundangnya ke istana dan mengangkatnya menjadi imam kesultanan. Beliau dan keluarganya tinggal di So Nggela, di tepi teluk Bima. Abdul Ghani kecil pun mengikuti ayah ibunya dan tumbuh dalam lingkungan yang Islami di bawah bimbingan ayahnya.
.
Pada usia remaja Abdul Ghani dikirim untuk belajar agama kepada para ulama’ di Kesultanan Banten beberapa tahun. Dari sana beliau kemudian melanjutkan ke Makkah. Beliau pun menuntut ilmu dari para ulama di sana seperti Al-‘Allamah As-Sayyid Muhammad Al-Marzuqi dan saudaranya, Sayyid Ahmaq Al-Marzuqi -penulis ‘Aqidatul ‘Awwam-, Muhammad Sa’id Al-Qudsi -mufti madzhab syafi’i-, dan Al-‘Allamah ‘Utsman Ad-Dimyathi. Syaikh Abdul Ghani banyak mengambil faidah dari para ulama ini. Sebagaimana yang dicatat oleh Khairuddin Az-Zirikli dalam kamus tarajimnya, Al-A’lam.
.
Abdul Ghani menjadi tersohor berkat keberhasilannya memanangkan sayembara yang diadakan oleh Pemerintah Khilafah Turki Utsmani di Makkah. Pada saat itu Makkah dan seluruh Arab menjadi bagian dari Khilafah Utsmani. Berkat itu beliau diberi gelar syaikh dan diangkat menjadi pengajar di Madrasah Al-Haram Makkah. Artikel ini adalah hasil copas dari tulisan Faisal Mawa’ataho aka Uma Seo di blog-nya kambalidompumantoi. wordpress. com.
.
Syaikh Abdul Ghani memiliki banyak murid, termasuk para penuntut ilmu dari Nusantara. Salah satu murid beliau yang paling terkenal adalah Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah guru dari Syaikh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama’.
.
Syaikh Abdul Ghani sempat pulang kampung ke Dompu pada awal Abad XIX kemudian beliau diangkat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu oleh Sultan Dompu. Beliau menikahi seorang wanita asal Dompu dan melahirkan anak bernama Mansyur yang kelak melanjutkan dakwahnya di Dompu dan Bima. Setelah beberapa lama tinggal di Dompu, beliau kemudian kembali ke Makkah. Sayangnya Syaikh Abdul Ghani tidak terlalu banyak meninggalkan catatan dalam sejarahnya. Beliau wafat di Mekah pada tahun 1270-an H atau pada dasawarsa terakhir abad ke-19 M dan dimakamkan di Ma’la.
.
Pekuburan Ma’la terletak kurang lebih 1,5 km dari Masjidil Haram. Kompleks pekuburan Ma’la itu sangat istimewa. Karena di situ adalah tempat dimana Istri Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni Sayyidah Khadijah radhiyallahu ‘anha dan para sahabat rhadhiyallahu ‘anhum dikuburkan.
.
Tentang keutamaan Ma’la, Sayyid Afifuddin Al-Mahjub dalam Kitabnya Uddatul Inabah Fil Amakin Al-Mustajabah menjelaskan sebagai berikut :

وروي عنه ﷺ (أنه سأل الله تعالى عما لأهل البقيع الغرقد ؟ فقال : لهم الجنة ، فقال : ما لأهل المعلا ؟ قال : يا محمد تسألني عن جوارك ولا تسألنى عن جواري) . [عدة الإنابة فى الأماكن المستجابة ، ص ٢٤٠]

Diriwayatkan dari Baginda Rasulillah ﷺ : “Sesungguhnya Beliau bertanya kepada Allah Ta’ala tentang apa (yg akan diberikan) kepada Ahli Baqi’ al-Gharqad ? Allah Ta’ala menjawab : Mereka akan dimasukkan ke surga. Beliau ﷺ bertanya lagi : Ya Rabb, kalau bagi Ahli Ma’la apa yg akan berikan ? Allah Ta’ala menjawab : “Kau bertanya tentang nasib tetanggamu (Ahli Baqi’) maka tak usahlah kau bertanya tentang tetanggaku.”
.
Subhanallah, jika penghuni pekuburan Baqi’ di Madinah mendapat jaminan surga Allah, bagaimana pula dengan penghuni pekuburan Ma’la yang disebut sebagai tetangga Allah??? []

Sumber: https://kambalidompumantoi.wordpress.com/2019/08/12/ulama-dompu-yang-dimakamkan-di-mala/

PERHATIAN: DILARANG COPY PASTE KECUALI DENGAN MENYERTAKAN LINK DI ATAS.

Uma Seo

Dipublikasi di Sejarah Dompu | Tag , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Desa Bara, Kakek Tua Yang Awet Muda


desa bara awet muda

Kambali Dompu Mantoi – Desa Bara, sebuah desa yang permai di sebelah barat Bukit (Doro) Nowa kemarin[1] baru saja merayakan hari jadinya yang ke 49 tahun. Tepatnya pada tanggal 5 Agustus 2020. Tahun 1971 adalah tahun di mana secara resmi Desa Bara dibentuk oleh Pemerintah Daerah tingkat II Kabupaten Dompu menjadi sebuah unit pemerintahan terkecil yang menaungi penduduk yang mendiami wilayah yang terbentang di antara dua bukit, Doro Nowa dan Doro Sire.[2] Sedangkan tanggal 5 Agustus 1971 adalah tanggal dibangunnya kantor Desa Bara.

Sangat unik dan langka di Dompu, sebab tidak banyak desa atau kelurahan di Dompu yang mengetahui secara pasti dan merayakan hari jadinya dengan sebuah festival budaya. Saya pribadi sangat mengapresiasi hal ini sebagai sesuatu yang positif. Mudah-mudahan momentum hari jadi yang secara kontinyu diperingati ini dapat menjadi titik tolak pelestarian nilai-nilai dan tradisi-tradisi positif khas Dou Bara. Tentu saja dengan mengoreksi dan membuang sisi-sisi negatifnya.

Meskipun secara resmi Desa Bara baru terbentuk pada tahun 1971, namun sebenarnya eksistensi Desa Bara dan Dou Bara telah berlangsung sejak akhir Abad ke-19. Walau belum diketahui secara detail tanggal dan tahunnya. Eksistensi Dou dan Desa Bara dimulai dari M. Amin Ompu Emo, seorang pintar dan sakti yang diangkat menjadi guru dan orang kepercayaan oleh sultan Dompu yakni Sultan Muhammad Sirajuddin Manuru Kupa (berkuasa tahun 1881-1934).

Ompu Emo diberikan tugas oleh Sultan untuk menjaga dan mengelola areal persawahan subur milik kerajaan di sebelah barat Bukit (Doro) Nowa hingga ke kaki bukit di barat sana. Dalam menjalankan tugasnya, Ompu Emo dibantu oleh keluarga besarnya. Mereka sekaligus menempati lokasi tersebut, yakni di sebelah timur sungai (Sekarang disebut Dusun Bara). Sultan bahkan mengangkat salah satu anak Ompu Emo menjadi pelayan pribadinya. Anak Ompu Emo ini bernama asli Abdurrahman, namun lebih sering dipanggil La Habe.

La Habe bertugas menjadi pelayan sekaligus pengawal pribadi Sultan Muhammad Sirajuddin. Ia sangat loyal dan setia kepada sultan sehingga sultan sangat menyayanginya. Saking sayangnya sultan pada La Habe, sampai-sampai banyak orang menyangka bahwa sebenarnya La Habe adalah anak dari Sultan Muhammad Sirajuddin dari salah satu selir beliau.[3] Ketika pada tahun 1934 Sultan Muhammad Sirajuddin diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Kerajaan Kupang, La Habe pun ikut serta dengan beliau. Bahkan ketika tanggal 14 Februari 1937 Sultan Muhammad Sirajuddin wafat, ia tidak mau kembali ke Dompu. Ia memilih menikah dan menetap di Kupang. Hingga saat ini istri dan anak-anak La Habe masih berdomisili di ibu kota Provinsi NTT itu.

Pemukiman di sebelah timur sungai akhirnya semakin ramai dan berkembang hingga terbentuk sebuah perkampungan. Ompu Emo didaulat menjadi gelarang (kepala desa) Bara. Selepas wafatnya Ompu Emo, anak tertuanya bernama M. Hasan Ompu Heso menggantikannya sebagai gelarang. M. Hasan atau yang dulu dikenal dengan Ama Ante, lahir pada tanggal 20 Maret 1920. Ia menggantikan ayahnya menjadi gelarang (kepala desa) di Bara. Dari sinilah Ama Ante atau Ompu Heso mendapat gelar Kapala La Bara. Ia memilki dua istri dan banyak anak dan sebagai anak lelaki tertua ia mewarisi sebagian besar harta ayahnya. Saat itu ia bahkan menjadi salah satu masyarakat biasa Dompu yang paling awal memiliki sebuah mobil.

Namun dinasti Ompu Emo di Desa Bara berakhir selepas naiknya Orde Baru. Zaman baru dimulai dan sistem lama harus ditinggalkan. Keturunan Ompu Emo ataupun Ompu Heso tidak lagi mewarisi jabatan Kepala Desa seperti pada masa sebelumnya. Mereka kini menjadi warga biasa sebagaimana masyarakat Bara lainnya. Saat ini masih tersisa dua orang anak ompu Heso yang masih hidup dan keduanya adalah laki-laki. Meskipun demikian, hanya seorang yang masih tinggal di Desa Bara, yakni Usman M. Hasan yang dijuluki Moa ‘Dondo.

Kesimpulannya, sejarah Desa Bara jauh lebih panjang dari 49 tahun yang baru saja diperingati. Terlepas hari dan tanggalnya tidak tercatat secara pasti, bisa jadi usia Desa Bara yang sebenarnya adalah telah mencapai seratus tahun. Ibarat usia seorang kakek tua sepuh yang telah kaya akan pengalaman hidup, namun kemudian harus dianggap berusia lebih muda. Desa Bara ibarat kakek tua yang awet muda. Tua akan sejarah, namun tersembunyi dalam keawet-mudaannya. Pokoknya, selamat ulang tahun Desa Bara! []

Sumber: http://www.koranlensapos.com/2021/02/desa-bara-kakek-tua-yang-awet-muda.html

Uma Seo

Catatan Kaki:

[1] Maaf, tulisan ini sebenarnya sudah saya rencanakan sejak seminggu yang lalu dan rencananya saya selesaikan dan saya posting tanggal 5 kemarin. Tapi karena beberapa kesibukan kecil, saya baru bisa menulisnya hari ini.

[2] Pasca Orde Baru tumbang Desa Bara dimekarkan menjadi dua desa, yakni Desa Bara dan Desa Madaparama.

[3] Sangkaan ini tidaklah benar. Seandainya benar La Habe adalah anak dari Sultan Manuru Kupa, pasti dia sudah pulang untuk mengklaim tahta Kesultanan Dompu.

desa bara selamat hari jadi

Dipublikasi di Sejarah Dompu | Tag , , , , , , , , , , , , , , , | Meninggalkan komentar